Perlukah Garuda Indonesia Menambah 50 Armada Pesawat Baru?

Oleh: Adhy Riadhy Arafah, Amanda Shahla, Didan Wibisono

Rencana Garuda Indonesia menambah jumlah armadanya sejumlah lima puluh pesawat Boeing menuai kontroversi.(1) Hal ini dikarenakan penambahan jumlah armada ini dikaitkan dengan kesepakatan dagang Indonesia dan Amerika Serikat pasca ancaman Perisden AS tersebut untuk menaikkan tarif impor Indonesia sebesar 32%. Ancaman ini lalu direspon oleh pemerintah Indonesia dengan melakukan negosiasi dengan menawarkan pembelian jumlah pesawat produksi Boeing yang notabenya perusahan manufaktur pesawat udara yang berbasis di Amerika Serikat. Dalam beberapa informasi dari media, kesepakatan ini ‘dianggap berhasil’ karena AS kemudian mengenakan tarif ‘hanya’ 19%.

Dilansir dari media online, pemerintah melalui perusahaan BUMNnya melakukan pemesananan jumlah armada pesawat udara tersebut melalui perusahaan penerbangan plat merah yaitu Garuda Indonesia. Namun yang menjadi pertanyaan apakah pembelian pesawat udara dengan jumlah yang sangat besar itu memang merupakan kebutuhan pasar Indonesia? sejauh mana pembelian jumlah pesawat udara udara tersebut memberikan dampak positif pembangunan Indonesia? serta apakah menempatkan perusahaan maskapai Garuda Indonesia sebagai eksekusi kesepakatan ini adalah tepat?

Potensi Penerbangan Nasional

Bentuk geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan menempatkan transportasi udara sebagai moda transportasi yang sangat memudahkan mobilisasi pergerakan penduduk Indonesia yang lebih dari 280 juta. Transportasi udara juga dianggap sebagai moda tranportasi yang secara ketercapaian waktu dapat menyingkat jarak satu tujuan ke tujuan lainnya dalam satu negara, sehingga dianggap lebih efisien. Adapun fasilitas penunjang, Indonesia juga memiliki jumlah bandar udara lebih dari 300 dengan berbagai skala, yang pembangunannya dilakukan secara besar-besaran pada periode kepemimpinan Pesiden Joko Widodo.

Terletak di benua Asia yang beriklim tropis, Indonesia dianggap memiliki potensi besar di bidang wisata yang berkarakteristik alam yang kunjungannya membutuhkan transportasi udara, seperti kunjungan wisatawan asing atau mancanegara. Beberapa kunjungan turis asing untuk berwisata umumnya kunjungan dengan tujuan menikmati alam baik nuansa pantai maupun pegunungan. Beragam kultur budaya dan kuliner juga menjadikan Indonesia tujuan utama berbagai turis mancanegara untuk datang merasakan keunikan ini. Masifnya penggunaan media sosial yang mempromosikan Indonesia juga menjadi magnet promosi kepada wisatawan asing yang masih terasa asing terdengar di telinga para wisatawan mancanegara.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia melaporkan di tahun 2024, Indonesia kedatangan 13,9 juta wisatawan asing ke Indonesia melalui bandar udara utama wisata. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, pada tahun 2023, sebanyak 11,67 juta turis mancanegara yang melakukan kunjungan ke Indonesia.(2) Lebih lanjut BPS mengungkapkan adanya pertumbuhan jumlah pengguna jasa transportasi udara domestik di tahun 2024 sebanyak 63,69 juta penumpang atau meningkat 1,76% dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 2023 sebanyak 62,56 juta penumpang. Sedangkan untuk pertumbuhan penerbangan internasional, BPS mencatat pertumbuhan sebesar 21, 46% dibandingkan tahun 2023 yang berjumlah 15,64 juta.(3)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara ini sejatinya memiliki potensi pasar yang besar dalam industri penerbangan, yang seharusnya hal tersebut menjadi sebuah alasan untuk meningkatkan industri penerbangan Indonesia ke arah yang lebih baik. Hal ini tak luput untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah dan mengembangkan pariwisata. Namun, penguasaan dominasi perusahaan maskapai nasional harus dilakukan sebagai bentuk kemandirian bangsa untuk memajukan ekonomi negaranya.

Anomali Data Pertumbuhan

Data pertumbuhan positif jumlah pengguna transportasi udara di, dari atau ke Indonesia ‘harusnya’ memberikan capaian positif terhadap industri jasa ini. Tercatat ada 18 perusahaan maskapai berjadwal di Indonesia yang beroprasi saat ini, dan menurut data, terdapat 597 pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan maskapai yang ada di Indonesia.(4)  Sejauh ini media mencatat hanya perusahaan Pelita Air yang mencatatkan pertumbuhan laba yang signifikan hingga 81% setelah dipotong pajak di tahun 2024, sebesar 5,9 juta Dollar AS.(5)

Meningkatnya kebutuhan masyarakat untuk bepergian dengan pesawat udara tidak otomatis membuat industri penerbangan nasional berada dalam posisi menguntungkan. Kenyataannya, dalam lima tahun terakhir, gelombang penutupan maskapai terus berlanjut, dari Merpati Airlines yang resmi dibubarkan, hingga kasus terbaru BBN Airlines Indonesia yang hanya bertahan enam bulan beroperasi sebelum menghentikan seluruh rute penerbangannya pada Maret 2025.(6)

Kebijakan ASEAN Open Sky yang berlaku sejak 2015, misalnya, dengan membuka pasar Indonesia bagi maskapai asing yang mampu menawarkan tiket lebih murah karena skala operasional mereka lebih besar dan beban regulasi lebih ringan menjadikan sebuah anomali bagi perusahaan maskapai nasional yang beroperasi di Indonesia. Salah satu dominasi maskapai asing di pasar Indonesia terlihat dari Singapore Airlines yang secara konsisten menguasai rute Jakarta-Singapura dengan mengangkut total 3,9 juta penumpang sepanjang 2024.(7) Akibatnya, banyak maskapai terjebak dalam kerugian meski jumlah penumpang terus tumbuh.

Berbanding terbalik dengan persahaan maskapai Singapore Airlines, sejak 2017 hingga 2025, Garuda Indonesia mencatat akumulasi kerugian sebesar USD 7,6 miliar (Rp 118,8 triliun).(8) Kemudian, puncaknya terjadi pada 2021 dengan kerugian USD 4,14 miliar, sehingga memaksa perusahaan masuk Penundaan Kewajiaban Pembayaran Utang (PKPU) karena jeratan utang sebesar Rp 142 triliun.(9) Adapaun hingga kuartal I tahun 2025, Garuda Indonesia kembali mengalami kerugian yang membengkak menjadi USD 75,9 juta.(10) Hal ini menandakan bahwa upaya restrukturisasi yang berjalan sebelumnya belum berhasil mengembalikan stabilitas keuangan perusahaan.

Penambahan Pesawat Udara Baru, Apakah Beban atau Peluang?

Pada akhirnya, rencana penambahan armada baru oleh Garuda Indonesia akan menjadi sebuah sinyal peringatan bagi perusahaan maskapai ini dengan strategis bisnis kedepannya. Garuda Indonesia harus siap menghadapi persaingan ketat antar perusahaan maskapai baik di kawasan regional maupun di luar kawasan jika tidak ingin terjebak lebih dalam pada pembayaran hutang yang semakin membengkak. Di kawasan Asia Tenggara saja, sebut saja Singapore Airlines, di tahun ini mencatatkan laba yang fantastis senilai 35 triliun rupiah atau maskapai di luar kawasan Asia Tenggara seperti Emirates 70 triliun rupiah. Tentu hal ini menjadi sebuah pertanyaan, terkait bagaimana Garuda Indonesia akan memasang strategi untuk bersaing dengan jumlah pesawat barunya nanti.

Garuda Indonesia tidak bisa berkompetisi sendirian menghadapi ketatnya persaingan ini. Ekosistem entitas bisnis terkait, seperti bandar udara, memainkan peranan yang penting agar perusahaan maskapai nasional seperti Garuda Indonesia dapat bersaing baik dalam jumlah penumpang maupun pelayanan. Bukan rahasia lagi bahwa penerbangan menuju Indonesia khususnya Bali jauh lebih nyaman melalui bandar udara Changi di Singapura daripada Bandar Udara Soekarno – Hatta. Mahalnya harga tiket khususnya penerbangan domestik yang dipengaruhi oleh ‘pungutan-pungutan pajak domestik’ juga harus menjadi faktor pertimbangan bagi Garuda Indonesia yang berpotensi menjadi beban bagi operasional pesawat udaranya untuk menembus persaingan.

Pada akhirnya, tumpuan maskapai nasional kita umumnya masih mengandalkan rute domestik. Namun demikian, seiring berjalannya keterbukaan persaingan open sky, sinyal mengoperasikan pesawat udara dalam jumlah besar akan menjadi tantangan. Dalam kondisi seperti ini, pembelian pesawat dalam jumlah besar bukan hanya tidak rasional tetapi lebih tampak sebagai intervensi politis bertopeng diplomasi dagang ketimbang keputusan korporasi berbasis akuntabilitas bisnis

Referensi

  1. Setiawan I, Nusraningrum D, Pahala Y. Deregulasi Penerbangan dan Kinerja Perusahaan Penerbangan Niaga Berjadwal di Indonesia. J Manaj Transp Logistik. 2015;2(1):1.
  2. DataIndonesia.id. Kumpulan Data Pariwisata Indonesia Sepanjang 2024. 2025.
  3. BPS Catat Kenaikan Jumlah Penumpang untuk Semua Moda Transportasi pada 2024 | tempo.co.
  4. Raharjo G. Kompas.com. 2025. Mengapa Jumlah Pesawat Indonesia Terus Berkurang?
  5. Adinda D. infoaceh.net. 2025. Dari Rugi ke Laba: Pelita Air Terbang Tinggi dengan Pertumbuhan 81% di 2024.
  6. Gabriela M. Tempo. 2025. Alasan Penutupan Operasional BBN Airlines Indonesia.
  7. Expat Life in Indonesia. 2024. Indonesia Among the Busiest Flight Routes Worldwide.
  8. Jumadi, Rianto, et.al. PT Garuda Indonesia (PERSERO) Tbk dan Entitas Anak/And Subsidiaries: Laporan Keuangan Konsolidasian 31 Desember 2024 dan 2023. 2025;(December).
  9. Pahlevi R. databooks. 2022. Garuda Indonesia Rugi 5 Tahun Berturut-turut sampai 2021.
  10. IndoAviation Plus. 2025. Garuda Indonesia Awal 2025: Pendapatan Charter Bertambah, Kerugian Berkurang.

Adhy Riadhy Arafah / Deputy Director of the CASP for Aviation Law and Policy Research Programme

Amanda Shahla / Research Fellow for Aviation Law and Policy Research Programme

Didan Wibisono / Research Fellow for Aviation Law and Policy Research Programme