Oleh: Adhy Riadhy Arafah
Baru-baru ini di berbagai platform media sosial sering muncul berita kelahiran perusahaan maskapai nasional baru di Indonesia, Indonesia Airlines. Dilansir dari berbagai informasi media, perusahaan maskapai ini dimiliki oleh Calypte Holding Pte Ltd, sebuah perusaahaan di bidang energi terbarukan, penerbangan, dan pertanian yang berkantor pusat di Singapura. Maskapai ini juga diklaim sebagai perusahaan maskapai yang akan berbasis di Indonesia, tepatnya di bandar udara Soekarno – Hatta, Tangerang, Banten. Dari informasi yang disampaikan di berbagai media, CEO dari Indonesia Airlines, Iskandar, menyampaikan bahwa Perusahaan maskapai ini kelak akan memberikan layanan premium dengan semua layanan tujuan adalah penerbangan internasional.
Keberadaan perusahaan maskapai baru ini merupakan angin segar bagi perkembangan dunia penerbangan nasional Indonesia, disaat tidak sedikit perusahaan maskapai nasional menyampaikan tantangan yang berat dalam industri ini pasca pandemi Covid-19, mengingat industri penerbangan adalah industri yang paling terdampak dari merebaknya pandemi Covid-19. Dari catatan penulis, sebelumnya, tercatat ada dua perusahaan maskapai baru yang lahir saat pandemi berlangsung dan pasca berakhirnya pandemi, diantaranya Super Air Jet yang merupakan bagian dari Lion Air Group di tahun 2021 dan Blue Bird Nordic (BBN) Airlines di tahun 2024. Lahirnya kedua maskapai ini menarik perhatian masyarakat secara nasional, diantaranya, jika Super Air Jet lahir di saat gelombang pembatasan perjalanan sedang digalakkan oleh pemerintah, yang saat itu dikaitkan dengan kemampuan akan bertahannya perusahaan maskapai ini, sedangkan kelahiran BBN Airlines dikaitkan dengan latar belakang pemilik perusahaan maskapai.
Perlu dipahami, industri penerbangan adalah industri yang operasional pesawatnya membutuhkan status kebangsaan. Hal ini tak lepas dari lahirnya kewajiban internasional di Pasal 17 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional yang mewajibkan setiap pesawat udara memiliki kebangsaan. Adapun kebangsaan pesawat udara secara garis besar mengikuti dimana pesawat udara tersebut didaftarkan. Namun pelaksanaan ketentuan pemberian status kebangsaan juga mengacu pada regulasi nasional masing-masing negara. Dalam penentuan kebangsaan pesawat ini, negara akan melihat beberapa elemen dari perusahaan maskapai, apakah operator pesawat udara telah memenuhi syarat sesuai yang dikategorikan sebagai maskapai nasional negaranya atau tidak.
Ketentuan nasional kebangsaan Indonesia
Indonesia dalam ketentuan nasionalnya, terkait kebangsaan pesawat Indonesia, diatur di Pasal 1 angka 6 UU Penerbangan, menetapkan bahwa ‘pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang mempunyai tanda pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia’. Ketentuan tanda pendaftaran pesawat di Indonesia dikenal dengan kode registrasi ‘PK’ yang biasanya ditulis di badan atau lambung pesawat udara. Sebagai tambahan untuk ketentuan di atas, setiap pesawat udara di Indonesia untuk dikategorikan sebagai pesawat udara yang berkebangsaan Indonesia, agar bisa beroperasi di Indonesia, ketentuan Pasal 83 jo Pasal 108 (2) UU Penerbangan mengatur bahwa badan usaha tersebut, seluruh atau sebagian besar modalnya, harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.
Selanjutnya, di ketentuan Ayat (3) diatur terkait modal badan usaha angkutan udara niaga nasional yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) terbagi atas beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing (single majority). Artinya semua perusahaan maskapai yang hendak menjadi perusahaan maskapai berkebangsaan Indonesia, maka kepemilikan modal perusahaan maskapai oleh orang atau badan hukum Indonesia di perusahaan maskapai tersebut harus di atas 50%.
Ketentuan kebangsaan perusahaan maskapai berdasarkan kepemilikan mayoritas saham oleh perorangan atau badan hukum dimana perusahaan maskapai memiliki kebangsaan adalah hal yang jamak terjadi di seluruh dunia. Di Uni Eropa, ketentuan kepemilikan saham di atas 50% juga diikuti dengan penguasaan efektif. Adapun Amerika Serikat, ketentuan kepemilikan saham yang harus dimiliki oleh orang atau badan hukum Amerika Serikat harus di atas 75%, dimana 2/3 atau lebih dari total direksi perusahaan maskapai tersebut harus berkebangsaan Amerika Serikat.
Saat ini, ketentuan penguasaan efektif atas perusahaan maskapai di Indonesia baik langsung atau tidak langsung, dalam UU Penerbangan tidaklah diatur. Kemunculan perusahaan maskapai BBN Airlines yang sempat mengudara secara singkat di Indonesia adalah salah satu contoh, yang informasinya diambil dari berbagai sumber, memiliki penguasaan efektif terhadap perusahaan maskapai tidak oleh orang atau badan hukum Indonesia. Kehadiran Indonesia Airlines (INA) dengan berbagai statement dan informasi di media akan mengulang proses lahirnya maskapai BBN Airlines. Apalagi, perusahaan maskapai ini dideskripsikan di media sebagai perusahaan yang dimiliki oleh badan hukum yang berkantor pusat di Singapura, dimana sejauh ini baru satu orang yang berstatus CEO yang diinformasikan sebagai orang Indonesia.
Tentunya, fenomena ini menjadi hal yang patut dipertanyakan terhadap pemerintah Indonesia. Pemerintah hendaknya lebih selektif terhadap pendirian perusahaan maskapai baru yang kelak akan berkebangsaan Indonesia. Tanpa mengurangi perkembangan minat dalam industri ini, pemerintah Indonesia hendaknya mendorong penanaman modal asing di bidang industri penerbangan nasional dengan kerkolaborasi dengan badan hukum Indonesia, serta mendorong keterlibatan mayoritas orang Indonesia dalam operasional perusahaan maskapai tersebut.
- Deputy Director Centre for Air and Space Policy (CASP) (adhy@caspindonesia.com)
- Research Fellow in Air, Space and Cyber Law (ASCLaw) Research Group, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga (adhy@fh.unair.ac.id)